Staying home with this lovely daughter

image

Penampilan putri kami kalau sedang di rumah. Kaos oblong dan celana pendek, the same outfit with her brother 🙂

Hari kedua Kak Biyya izin dari sekolahnya. Demam dan flu melanda, terkadang ada keluhan sakit kepala juga. Biyya banyak tidur kalau sudah mulai sakit. Alhamdulillaah walau tidak selahap biasanya, Biyya tetap mau makan, minum teh atau minum susu. Bunda akan coba menyimak semua perkataannya, menjawab setiap pertanyaannya, membantu memenuhi permintaan sederhananya, seperti menyeduh air panas untuk teh/susu, memanaskan air mandi, bahkan untuk hal yang biasa sudah dikerjakan secara mandiri oleh Biyya, seperti menyanduk nasi dan makan.

Saat Bunda menulis ini, Biyya yang baru kelar mandi dan sedang makan pizza mini kesukaannya, teruuus bertanya dan bercerita. Tentang kegiatannya di sekolah kalau pukul 10, tempat ia biasa jajan, jajan apa saja. Biyya bertanya apa yang sedang Bunda tulis, kenapa di tempat kita tidak pernah turun salju dan lain sebagainya.

“Kalau jam 10, kawan-kawan Biyya jajan di belakang. Ada kantin keciiil kali, dekat rumah Pak Budi.” Kisahnya dan langsung membuat Bunda merasa was-was. Karena setahu Bunda rumah Bang Budi di luar pagar sekolah. Tapi setelah bertanya dan Biyya menjawab lebih detail, kantin yang di belakang itu masih dalam pagar sekolah. Bunda merasa lega. Selanjutnya membatin, terkadang Bunda tak adil, kenapa memilih-milih dalam menyimak lebih cermat cerita sianak? Seharusnya semua cerita didengarkan dengan antusias. Bukan hanya dengan tanggapan “hmm”, “iya”, dan “oya?”.  Tapi cerita dan pertanyaan Biyya banyak sekali tak ada henti, bahkan saat Bunda sudah minta izin beberapa jenak untuk menulis tanpa dibombardir ratusan tanya. But that’s Biyya. I love her anyway.

Sesi Terapi

   Sudah hampir empat bulan menemani Ayus konsultasi dan nimbrung di sesi terapinya. Aku masih bisa mengingat celetukan Mbak Inge “Itu berarti Aini bisa belajar sesuatu lebih cepat.” Nah, itu saat aku ungkapkan kalau seringkali aku merasa ‘de javu’.

   Ya, empat bulan yang mengenyangkan ingin tahuku tentang dunia psikologi, walau hari ini aku mulai lapar lagi. Sangat menarik dan terkadang datang keinginan merutuki diri karena dulu tidak memasuki dunia ini lebih dini, rasa itu berusaha kubuang jauh-jauh.

   Ah, well. Kurasa aku juga bukan orang yang mampu melakoni semua ini. Bagiku bermain di ranah sugesti dan perasaan begitu berat. Duniaku dengan pengobatan hewan-hewan dan uji coba di laboratorium atau kajian-kajian ilmiah lainnya melalui referensi yang disediakan tentu lebih ‘aman’ dibanding melakoni tokoh terapis, konselor, maupun psikolog. Ya, ya, ya… ketiganya tidak sama mungkin, tapi tugas itu teramat berat. Memperbaiki dan menyembuhkan jiwa, mengobati sesuatu yang tidak tampak. Seolah ia melihat sesautu yang invisible. Yup, tentu saja tak semudah saat mendiagnosa sebuah penyakit yang gejalanya terlihat secara fisik.

  Dalam terapi, kita banyak saling mengisi, mensugesti, menyelami banyak sisi. Hidup terlalu berharga untuk kita sia-siakan meraup manfaat. Betapa berharganya setiap denting detik jam untuk berpikir positif. Mari mengingatkan diri sendiri dan minta bantuan orang terdekat kita untuk mengingatkan kita juga.

   Ya, Eun Yud. Mari…

  

  

image

Photo by google

Faza dan renungan hari ini

image

Jam menunjukkan pukul 15.45. Faza sudah makan siang, sudah minum susu dan tiduran di lantai. Tiduran itu hanya sekedar golek, menempelkan pipi chubby-nya ke lantai, menikmati sensasi dingin ubin ruang tengah.Kartun Paw Patroli menyala di DVD sejak pagi tadi, Akib, Biyya, dan Faza seharian ini di rumah.

Oh, Akib baru saja keluar diajak Ayah belanja bulanan. Biyya mulai kedatangan tamu-tamu kecil, Zahra dan Alwi. Mereka mulai menggambar dan mewarnai di teras rumah.

Tinggal aku berdua dengan Faza di depan TV. Video Paw Patroli kubiarkan menyala sambil melanjutkan buku Tamim Ansary. Bahasan mengenai Khalifah Ustman sangat menarik minatku, saat SMA aku pernah membaca biografi Ustman bin Affan dan sosok yang sangat menyihirku. Kini dengan bahasan yang tidak sebegitu detail, sosok Ustman tetap menawanku. Semoga Allah senantiasa meridhai sosok lembut dan filantropis ini.

Aku kaget ketika menoleh ke kiri, Faza setengah terpejam menikmati semilir angin dari kipas angin di sudut ruangan. Wah, aku terpana lagi. Sungguh nikmat waktu dan kemudahan yang Allah berikan tak mampu dipungkiri. Tapi iman ini tidak cukup baik, apatah lagi jika dibandingkan dengan shahabiyah. Sungguh bukan sebuah kepantasan bagi hamba dhaif sepertiku.

Menatap wajah tidur Faza dan mulai menulis postingan sederhana ini. Kelak ketika aku terlupa dan diuji, lalu aku mulai menginterogasi-Nya. Kenapa, duhai Allah? Mengapa? Dua awalan yang tidak pantas digunakan hamba yang dihujani milyaran nikmat. Semoga ini benar-benar menjadi pengingat.

Suguhan 13 Agustus 2016

Antara kita (Bagian kesekian)

   I don’t have any idea when we are fighting and keep silent during a day except remember all your kindess and whisper how I miss you. The way you tie my hair, the way you look in to my eyes, and the way you laugh.

   Tidak selamanya hubungan pasutri lempang dan manis. Tentu ada bruntul-bruntul, ngambeg sesekali, kesal bin frustasi kalau sudah tidak sesuai dengan rencana.

   For example, the simple things are; aku baru saja akan menyeduh kopi paginya, seketika kulihat ia sudah menyeruput habis kopi buatannya sendiri. Hm, what’s the matter?
   Sip! Aku lupa memisahkan antara sampah plastik dan organik untuk kesekian kalinya atau lupa menggantung plastik sampah di pohon kayu belakang rumah, sekenanya saja aku taruh di samping pintu dan sukses diobrak-abrik ayam tetangga. Dua kali kerja sementara biasanya yang membuang sampah ke kontainer adalah Eun Yud. Ia harus mengais sampah sebelum membawanya ke kontainer dengan kondisi yang lebih mengenaskan. Bau, bertebaran, dan jorok.

   Sekali waktu aku sedang cuti salat, saatnya aku menonton film yang sekian lama aku endapkan di laptop or harddisk, berhubung laptopku rusak, aku harus meminjam laptop Eun Yud. Film itu sukses dihapusnya tanpa ‘babibu’. Yes! Aku kesal setelah ngedumel tentang apa yang aku kesalkan. Tega, padahal kita sudah menahan diri setiap hari untuk seminggu ini selama satu bulan pun dikebiri.

Memasak, membuat kopi dan pekerjaan rumah tangga adalah kerja seluruh anggota keluarga. Aku sudah menjelaskan kenapa mengambil porsi lebih besar dibanding seluruh anggota keluarga karena aku suka, aku senang melakukannya, aku bangga melakukannya dan yang paling praktis itu, kerjaku lebih rapi dan bersih. Expert tepatnya, hahaha.

   Banyak sekali lika liku mulai hal kecil ataupun besar yang bisa memicu konflik pasutri. Hal itu harus diakui, walau antara aku dan Eun Yud dalam sebulan belum tentu ada korslet apalagi gegap gempita. Sebagaimana tipikal romantisme kami yang standar dan tiada kentara, begitu juga konflik kami. Aku dan Eun Yud adalah pasangan yang tidak romantis. Nah, percayalah. Kami penganut romantis itu jangan sampai bikin eneg. Begitulah kira-kira. Kecuali ritual menulis surat cinta setiap kali hari jadi, lainnya rasanya semua biasa saja bagi kami. Tak ada kata kata kaulah bulan, kau lah bintang dan sejenisnya. Mengingat kemampuan verbal Eun Yud yang kurang mumpuni, ia hanya memiliki tatapan dan sentuhan yang coba sebelas tahun aku terjemahkan. Hm, sudah ahli juga akhirnya. Sementara cara itu masuk di slot yang aku sediakan, ketimbang rayuan maut atau tingkah lebay yang membuatku ilfeel, cara sederhana dan sesekali itu menjadi amunisi kebahagiaan tersendiri bagi rumah tangga kami.

   Seperti sore ini, aku bilang ke Eun Yud hari ini kita berbuka bersama di salah satu tempat yang sudah kusebutkan, aku diundang singkatnya. Saat aku menyampaikan ke Eun Yud, ia sedang pusing karena baru kembali dari pasar dan cuaca di luar cukup menyengat. Setelah salat zuhur ia tidur hingga jam 5 sore. Aku bangunkan untuk salat asar. Setelah salat ia berberes kandang dan aku menonton drama korea (aku mengambil jatah bulananku) sambil membereskan kain.

   Kami berbenah dan Eun Yud mbuang sampah lama sekali. Ternyata ia membeli kopi dan kue hingga menjelang buka. Bailkah, aku kesal dan terjadilah episode saling mendiamkan.

   “Ayah lupa, kok nggak bilang…”
Jiaah hahaha…

   Dengan sabar Eun Yud mengajak Faza bermain setelah ia tilawah magrib tadi. Aku masih kesal dan ingin mengambil jatah drama lagi. Tapi anak-anak belum tidur. Oh well, Faza ketiban per besi saat diajak bermain. Aku protes lagi, harus lebih hati-hati mengajak anak bermain. Seharusnya telaten sebagaimana aku. Hihihi betapa seramnya diriku.

   Sambil bermain dengan Biyya dan Faza, kami tidak saling mendiamkan tapi terasa ada bukit es di sisi kiri dan kananku. Suasana beku.

   Lalu yang biasanya aku lakukan adalah membaca, menulis, meyibukkan diri dengan pekerjaan rumah jika masih ada. Aku begitu bosan ketika semua pekerjaan selesai. Di kepalaku hanyalah segala kebaikan Eun Yud, senyum hangatnya, tangan besarnya, dan binar matanya.

   Ia pergi ke luar, ia berpamitan, ia mencium keningku, masih sempat menggodaku karena drakor yang belum selesai kutonton. Malam ini barangkali terakhir aku cuti salat dan bisa menonton. Ia tahu aku kesal tapi ia harus keluar dan janji akan pulang segera.

   Sekarang habislah aku dicekam rindu dan sesal. Alangkah lebih bahagianya aku balas memeluk sebentar tadi. Dasar kekanakan. Habislah aku, beberapa jam serasa beberapa bulan. Segeralah pulang, Eun.

  

  
Tulisan ini diikutsertakan dalam mini giveaway pengalaman yang menyentuh dalam rumah tangga

Melepas dengan rela

Ada banyak hal atau kebiasaan yang tidak bisa lagi kita pertahankan ketika kita memutuskan berumahtangga dan memiliki anak. Jangan lakukan atau tinggalkan kebiasaan tersebut dengan terpaksa. Lepaskan dengan hati yang ringan penuh kerelaan karena ini akan erat kaitannya dengan pengasuhan yang akan kita lakukan ke depan bersama pasangan.

Salah satu yang paling pokok itu memutus rantai kemalasan. Bentuk kemalasan beragam dan lawanlah dengan tegar. Mulai dari malas bangun pagi, malas mencari referensi untuk menambah wawasan sebagai ortu, dan banyak lagi.

Satu hal lagi, konsisten dalam peraturan. Seiring dengan rajinnya kita belajar, akan ada pengetahuan-pengetahuan baru yang bisa kita terapkan untuk dapat bisa mencapai tujuan bersama. Konsisten adalah pemegang kunci.

Untuk kali ini, dari sekian banyak hal, biarlah hanya dua dulu yang tercatat sebagai pengingat diri. Semoga Allah memberkati.

image

Menanam dan merawat benih (milik) sendiri

“He’s not a perfect boy but I proud of him anyway. I always tell my self that he has his own light as our rising star”

Bunda, otak kanan Akib berarti bekerja.” Ungkapnya di sela-sela khusyuk membaca novel anak yang baru dibelinya sore tadi.

“O, ya?” Tanyaku penasaran. Eun Yud di sebelah tertawa sambil mengedipkan mata. Apalagi kali ini, pikirnya.

“Iya. Setiap Akib baca ini, ada gambar yang bergerak di otak Akib. Padahal di buku ini, kan, semuanya tulisan. Tapi Akib bisa lihat gambarnya.” Ia menjelaskan lebih detail tentang apa yang dirasakannya.

Menurutku antara biasa saja dan unik. Barangkali karena ia memang dikenalkan buku dari pictorial book dan komik, jadi wajar kalau cukup imajinatif. Akupun bisa melakukan itu dulu dengan mudahnya. Walau sekarang membaca di sela-sela waktu, tepatnya mencuri-curi waktu membuatku tidak begitu fokus seperti dulu. Kadang aku harus membaca saat terbangun tengah malam, sambil mengemong Faza atau mengeloninya tidur, sambil menunggui mesin cuci, sambil memasak bahkan pernah untuk kondisi-kondisi tertentu. Multitasker barangkali memang buruk, tapi hanya itu yang mampu aku lakukan sekarang, atau aku tak bisa menikmati aroma lembaran kertas dari buku baru atau buku-buku lama yang sering membuatku rindu membukanya kembali. Boleh jadi aku sedang butuh untuk membuka referensi untuk sebuah keperluan. That’s what a book for.

Akib adalah tantangan dan cobaan tersendiri bagi kami. Tidak sedikit yang menghakimi, Bundanya sih, kayak gitu, makanya anaknya… tiiiit *sensor

Atau ayahnya begitu dan begini. Hm, berbagai macamlah. Ada juga yang mengaitkan profesiku sebagai dokter hewan dengan keunikan Akib. Untuk orang yang seperti itu aku hanya berdoa ia selalu diberikan anak-anak patuh yang penurut yang bisa dikendalikannya bagai televisi dengan remot kontrol di tangannya.

Laa nufarriqu nafsan illaa wus’ahaa, jadi aku berkesimpulan Allah Maha Tahu memilihkan pasangan mana yang menjadi buah hati Bunda. Aku bisa memilih pendamping hidup, tapi anak adalah pemberian Allah untuk Bunda yang sesuai. Aku bangga apapun itu, bagaimanapun Allah mempercayakan tiga buah hati untukku. Untuk kami.

Akib biasa saja bagi kami, tapi jangan terlalu berharap biasa ini dalam kerangka semua orang.

Beberapa metode memang harus melawan arus untuk menemani anak zaman sekarang. Sebagaimana ilmu parenting yang kita dapatkan tidak sepenuhnya bisa dijiplak dan diaplikasikan ke anak-anak kita, setiap pribadi anak itu unik.

Aku juga pernah dikritik mengenai meniadakan televisi di rumah, membatasi gawainya di sabtu minggu-belakangan sabtu minggu dan hanya dua jam- dan komputer bisa diakses dalam waktu tertentu dengan program Scetch up, Smooth Draw, Photoshop, dan Corel Draw. Itu di rumah. Welcome di luar rumah, silakan batasi diri sendiri. Sadar diri, Allah sebaik-baik pegangan Bunda dan Ayah. Peraturan untuk kebaikan Akib. Untuk kebaikan anak.

Nah, ketika ia sudah di luar, dalam artian saat silaturrahim ke rumah teman, saudara yang semua bebas akses, itu tergantung diri anak. Di sini kami selaku orangtua bekerja sama memberi pengertian secara kontinyu. Membuka dialog kenapa dan untuk apa ini semua kami lakukan dan bagaimana sikap anak di luar.

Lagi-lagi nanti akan ada yang berkomentar. Itulah di rumahnya nggak punya teve. Eeh, waktu lihat teve kasihan bener, matanya nggak beranjak dari layar.

Bukan tidak pernah Akib jadi tertawaan karena ia tidak bisa membedakan acara teve dengan iklan. Usianya kira-kira 4 tahun waktu itu, setiap iklan dia protes dan marah siapa yang mengganti film yang sedang ditontonnya.

Kalau ia sedikit menikmati tontonan televisi siaran anak dan begitu antusias di rumah saudara atau temannya yang lain, aku tidak pernah marah. Akib bukan orang dewasa yang terperangkap dalam tubuh anak-anak.

Jika akhirnya melihat film yang diputar bukan film yang baik, itu sudah kami diskusikan sebelumnya. Harus ada tindakan konkrit dari anak untuk beralih ke kegiatan lain. Beberapa kartun jepang yang terindikasi untuk dewasa seperti Naruto juga pernah kami diakusikan. Karena semua temannya bercerita tentang itu dan cukuplah bagi Akib untuk sekedar tahu ceritanya secara garis besar. Untuk tontonan rutin apalagi mengikuti semua serinya sudah selesai kami bahas. Akib tidak rugi kalau tidak hapal semua jurus Naruto atau semua nama tokohnya. Naruto film apa dan untuk siapa sudah selesai.

Beberapa animasi seperti Minion dan Zootopia juga tak luput dari adegan yang harus kami diskusikan. Bukan hanya multimedia, buku dan komik juga harus aku baca lebih dulu. Sejauh ini komik Conan dan Lucky Luke pernah jadi bahasan agak panjang. Kalau game itu dipersilakan Eun Yud yang membahas. Pernah ada game GTA yang sudah diberhentikan dan yang hingga kini masih ada akses Minecraft dan Stickdraw.

Kami menghargai setiap orangtua yang menganggap hal-hal kecil dan pembiasaan sejak usia dini adalah sepele. Jika berbohong kecil menjadi kebiasaan orangtua hanya untuk memudahkan urusan jangka pendek yang harus diselesaikan saat itu, kami tidak memaksakan agar ikut dengan peraturan kami, berbohong sekecil apapun, seremeh apapun dilarang. Bahkan untuk teriakkan “iiih hantuuu” “awaaas diculik orang gila, ada orang gila di luar!” “Nanti digigit kucing/anjing baru tahu rasa!” adalah larangan di rumah.

Jadi, seperti itulah kami meminta peraturan di rumah kami tidak direcoki di belakang atau di depan kami. “Makanya Akib, Bundanya suruh pasang antena teve.”

“Beli buku mahal-mahal akhirnya buat disobek juga, kan? Emang ini dibaca semua? Disuruh baca terus, bosanlah anak!”

“Ngapain anak dilarang-larang main game, masa kecilnya kan, untuk bermain. Kasihlah haknya.”

Haknya untuk mendapatkan yang terbaik. Membeli buku mahal, kami punya tips dan triknya. Selama ini insya Allah tidak pernah berutang untuk membeli buku Akib dan Biyya.

Jika kita tidak bisa bekerjasama, itu wajar. Antara aku dan kalian sudah diamanahkan pasangan anak-anak berbeda, ranah kita tak sama. Kalau melihat Akib bukan anak yang hebat dan tidak sukses menurut kalian, silakan. Siapapun berhak menilai, tapi tidak menghakimi.

Aku hanya berharap pada Allah dan berusaha terus memperbaiki diri bersama pembelajar sejati yang ada di sebelahku kini.

image
“Otak kanan Akib bekerja, Nda.” 🙂

It’s time to rabbitry

“Nda, ada yang kena scabies.” Kode Eun Yud untuk mengajakku ke Rabbitry. Sambil terus berkemas aku bertanya berapa ekor yang terjangkit scabies, anakan, pejantan, or indukan. Ya, standard questions. Anamnesis singkat itu pasti akan berakhir begini, “sebentar ya, dikit lagi, nih.”
‘Dikit’nya emak-emak itu bisa sebutir debu, sebongkah batu, bahkan sebesar gunung. Jadilah terkadang beberapa jam kemudian, bahkan bisa jadi beberapa hari berikutnya baru aku melongok ke belakang atau ke sebelah. Inspeksi sekaligus memberi perlakuan pada pasien-pasien milik klien kesayangan.
Kasus langganan yang biasa kutangani adalah scabies atau semacam kurap, kalau orang awam bilang. Penyebabnya adalah salah satu spesies tungau Sarcoptes scabei yang menyebabkan gatal di bagian kaki, telinga, dan hidung kelinci. Gejala pathognomonik (khas)nya  terlihat keropeng di sela-sela kuku, pinggir telinga dan hidung. Kalau parah bisa meyebabkan kerontokan bulu, keropeng di hidung menebal dan penyakit ini juga sering disebut penyakit hidung pinokio karena salah satu gejalanya seperti di atas. Kelinci yang mengalami scabies akan dengan intens menggaruk-garuk bagian tubuh yang gatal, menggosok-gosokkan badan ke kandang.

Scabies penyakit yang mudah menular. Segera pisahkan kelinci yang mengalami gejala scabies dari kelompoknya, jika dipelihara bersama indukan/ anakan/pejantan lainnya. Karena tungau sangat mudah berpindah ke kelinci lain melalui kontak langung atau tempat pakan, kandang, dan nipple yang tercemari tungau tersebut.

Kebetulan kandang di rabbitry kami adalah kandang individual. Setelah 40 hari anakan kelinci disapih dan dipisah kan dari induknya. Anakan sudah bisa mengkonsumsi pakan pellet atau hijauan layaknya kelinci dewasa lainnya. Sementara indukan dipersiapkan untuk kawin dengan pejantan yang stand by setiap saat untuk membuahi.

Hanya butuh sekitar empat ekor pejantan untuk rabbitry kami dengan kapasitas kandang yang hanya cukup untuk 50 ekor kelinci. Jadi, kita tak perlu banyak pejantan. Hanya satu atau dua ekor pejantan tangguh. Untuk syarat menjadi pejantan atau indukan akan kita coba bahas di tulisan selanjutnya.

Pencegahan penyakit scabies dengan sanitasi kandang yang baik, pakan yang cukup untuk menjaga daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit. Untuk kelinci hias sejenis Jersey Wolly, English Angora, atau Lion Head sebaiknya rutin menyisir bulunya paling tidak seminggu sekali, sebulan sekali boleh dibawa grooming ke petshop terdekat. Jenis lokal, New Zaeland Dwarf, Holland Loop, Rex, Reza, lebih praktis lagi. Cukup rutin membersihkan kandangnya setiap pagi. Kelinci merupakan hewan nokturnal yang aktif di malam hari. Ia akan lebih banyak makan dan minum, juga defekasi saat malam hari atau menjelang subuh. Jadi, pagi adalah saat yang tepat membersihkan kandang dan mengganti pakan paginya.

Jika sudah terjangkit scabies, injeksi subcutan 0,1-0,2 cc ivomec (ivermectin) biasanya bisa menyembuhkan penyakit ini. Dalam tiga atau empat hari keropeng akan rontok dengan sendirinya dan kelinci bisa sehat seperti sedia kala. Lakukan pencegahan seperti di atas agar si tungau jahat tidak mampir lagi menjangkiti kelinci kesayangan kita.

image

Alasan untuk Bersyukur

Menyaksikan celana baggy selutut dengan ukuran jumbo yang masih bergumul tergeletak di lantai di usia nyaris 11 tahun pernikahan kami untuk kesekian kalinya, alih alih membuatku merasa kesal, lelah dan marah, aku justru tersenyum simpul, memungut sembari menggantungnya di hanger belakang pintu.

Aku punya alasan merasakan seruak bahagia di hati ini demi menyaksikan fenomena tersebut untuk kesekian kalinya.

Pertama, aku jadi punya alasan menyentil bahkan mencubit pinggangnya kali ini. Atau memencet hidungnya yang mulai berlemak kalau tak kuingatkan memakai sabun muka setiap kali mandi.

Kedua, aku merasa tersanjung karena celana itu menjadi style favoritnya setiap hari saat menghabiskan waktu bersama kami di rumah, kebun, dan rabbitry. Walau kubeli dengan bajet super hemat yang tidak bisa dilakukannya, sebab ia hanya tahu berbelanja di toko pakaian berbandrol di sepanjang jalan pusat kota.

Masih jelas raut wajah dan senyum sumringahnya saat kuberikan beberapa lembar dan dipakai berganti-ganti untuk bekerja, bersantai dan menikmati kopi pagi buatanku.

Ketiga, kuantitas dan intensitas terjadinya peristiwa tersebut menegaskan keberadaannya yang lebih banyak mendampingiku mengasuh anak-anak di rumah. Karena entah kenapa, bagiku tetap saja kualitas dan kuantitas adalah dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.

Ada geliat bahagia yang kerap kurasakan setiap membereskan dan segala kerepotan yang dilimpahkan oleh orang-orang tersayang di sisiku.

Ditambah lagi jelang tidur, saat ‘pillow talk’ sesekali kami saling bermaafan atas khilaf yang sengaja, tak sengaja, bahkan rutin seperti kejadian celana baggy itu. Aku jadi tak punya satu alasan pun berkeluh tentang dia.

Aku tak sempurna, begitu juga ia. Tapi karena itulah kami berusaha untuk saling mengisi.

Yang terakhir, aku benar-benar diingatkan untuk terus bersyukur ia ada dalam artian sesungguhnya. Di sini bersama kami, berbagi tugas pengasuhan bersamaku.

Selamat hari ayah Eun Yud, karena bagi kami every day is father’s day, because you always there.

image

LACTACYD LIQUID BABY, BUKAN SEKEDAR MEMINIMALISIR ALERGI

lactacyd photo

Aku dan suami punya riwayat alergi, jadi ketiga anak kami juga punya alergi masing-masing. Anak yang ketiga alerginya paling berat. Usia 5 bulan Faza pernah dirawat di RS karena alergi susu sapi dan tongkol yang seringkali aku konsumsi. Padahal saat itu Faza masih menyusu eksklusif. Nah, bayangkan beratnya alergi Faza. Terakhir ke DSA, Faza menunjukkan tanda gelap di bawah mata alias Faza berkantung mata. Faza yang masih berusia 17 bulan saat itu berkantung mata walau tidak terlalu kentara kalau dilihat sekilas.

Bukan hanya di pencernaan, manifestasi alerginya juga ke kulit. Kulit Faza seringkali kering dan ketika digaruk menimbulkan garis putih, terkesan bersisik. Aku sudah sejak lama menjaga makanannya, bahkan makananku sendiri juga. Karena Faza masih sering menyusu. Susu hipoalergenik juga tidak membantu banyak. Permukaan kulit Faza kala disentuh seperti berbintik kecil dan terasa kasar. Jika ditambah dengan cuaca panas, kulit Faza mulai memerah. Seperti itu dari badan hingga ke paha. Iba melihat Faza tidak nyaman tidur dan bermain. Aku mengganti sabunnya dengan beberapa merk yang katanya sudah teruji secara klinis. Tapi barangkali kulit Faza terbilang amat sangat sensitif, walau dikatakan semua kulit bayi itu sensitif.

DSA menyarankan kami ke sub spesialis alergi. Dari skin prick test Faza punya banyak alergi, aku dan suami harus lebih telaten. Kami juga tidak yakin dengan air tanah yang selama ini kami gunakan untuk mandi. Walau hanya Faza yang terlihat bereaksi berlebihan. Kami mendapat info mengenai produk dari teman di medsos. Awalnya tidak berharap banyak, karena kami sudah gonta ganti produk kosmetik baby yang banyak direkomendasikan para orangtua yang berpengalaman. Ternyata LACTACYD LIQUID BABY berbeda, bukan sekedar kosmetik bayi biasa. Kandungan asam laktat menyeimbangkan PH kulit sensitif bayi. Lactoserum membuat kulit bayi yang sangat sensitif sekalipun menjadi lembut. Aromanya yang lembut membuat terapi kebahagiian tersendiri ketika melihat alergi Faza mulai diminimalisir. Bermain, makan, bahkan tidurnya jauh lebih nyenyak dan nyaman.

Seringkali alergi Faza diperparah dengan diapers rash. Kami tidak lagi bingung gonta ganti merk diapers yang awalnya kami sinyalir sebagai penyebab iritasi. Alergi kulitnya sudah berkurang dan diaper rash-nya justru nyaris pulih. LACTACYD LIQUID BABY sudah diformulasikan sedemikian baik dengan cara pemakaian hanya 2-3 sendok penuh dan diteteskan ke wadah mandi bayi.

Beberapa tips untuk merawat kulit sensitif diambil dari berbagai sumber:

  1. Berikan ASI eksklusif selama 6 bulan.
  2. Hindari bergonta-ganti produk perawatan kulit untuk sekedar mencoba-coba
  3. Hindari hal-hal pemicu alergi atau suspect sekalipun, terutama bagi yang orangtuanya memiliki riwayat alergi.
  4. Gunakan kosmetik bayi yang benar-benar dibutuhkan, hindari yang mengandung alkohol karena dapat menyebabkan iritasi pada kulit sensitif.
  5. Mengonsumsi madu lokal yang dipasteurisasi dapat mengurangi alergi karena menurut peneitian madu bisa memicu sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan antibodi.
  6. Ikuti aturan kulit versi sederhana, yaitu: jika basah, keringkan. Jika kering basahi. Jika berwarna hitam dan terlihat mati, buang (jangan melakukannya sendiri, mintalah bantuan dokter).
  7. Gunakan pakaian yang berbahan lembut dan perhatikan cara mencuci, takaran deterjen dan pewangi yang berebihan justru berefek buruk pada kulit.
  8. Pastikan anda membersihkan lipatan selangkangan, di bawah dagu, dan di balik kulup penis anak yang seringkali menjadi tempat pertumbuhan bakteri.
  9. Untuk perawatan dan pengobatan gunakan produk yang direkomendasikan DSA Anda.
  10. Redakan sebagian nyeri akibat ruam terbuka menggunakan kompres dengan kain yang sudah direndam dengan air hangat yang telah ditetesi LACTACYD LIQUID BABY. Jika mandi, usahakan airnya hangat, bukan panas, karena panas dapat memicu pelebaran pembuluh darah dan membuat gatal semakin parah . Lap untuk menyeka dan handuk mungkin terlalu berat sehingga mencegah kelembaban menguap.

 

Demikian 10 tips yang mungkin bisa membantu mengurangi masalah kuit pada bayi. Kulit bagian yang sangat penting, ia membangun ikatan. Sentuhan mempunyai peran penting dalam membangun kasih sayang. Sentuhan kasih sayang menurunkan kadar hormon stres kortisol dan meningkatkan hormon oksitosin. Bahkan ketika kita tidak lagi menyusui, usahakan tetap mendekap dan mengelus anak. Tugas besar ini melibatkan kulit. Jadi, benar sekali kulit memiliki peran yang sangat penting dalam pengasuhan anak.

Meilissa

Adalah Meilissa, gadis 21 tahun yang saat itu menjadi relawan pasca tsunami di Aceh. Lalu aku seorang gadis yang juga 21 tahun di masa itu. Kami dipertemukan Allah oleh suatu sebab dengan dua belah pikir yang amat bertolak belakang.
“I think I’ll not merried with someone at the future.” Bukanya suatu ketika.

Aku dengan segala prinsip yang masih menjejal otak dan segala idealisme anak muda masa itu, tentu sedikit terkejut. Tapi apalah, kita tidak sedang membahas dalam mengenai ranah yang teramat privasi, begitulah kurasa. Hm, tapi aku cukup tertarik dengan pancingannya. Awalnya ia menanyakan apa aku punya seorang pacar, kujawab apa adanya, hingga hari itu aku belum memproklamirkan seorang pria pun untuk merajai tahta hatiku. Walau, ya, pada dasarnya rasa suka itu ada sejak usia kelas dua setingkat sekolah menengah pertama, dimana aku mengalami masa pubertas dan mulai merasakan kecondongan hati pada lawan jenis.
Berikutya bahasan kami mengenai bagaimana Islam mengatur tentang batasan hubungan antara lelaki dan perempuan sebelum ijab qabul. Ia cukup terkejut kalau seharusnya, sebaiknya tidak ada pacaran sebelum pernikahan. Bagaimana mungkin, bagaimana bisa terjadi saling suka jika tidak dimulai dengan penjajakan sejenis pacaran. Aku jelaskan lagi ta’aruf dan andil Tuhan di bab jodoh. Dengan secuil ilmu yang kudapatkan di kajian-kajian dan diskusi panjang dengar guru-guru, termasuk Umak dan Abak, turut memberi andil mengentalkan prinsip tadi.
“Jadi … kamu akan sungguhan menikahi pria yang akan mengajakmu menikah?” begitulah takjubnya saat itu. Lalu kamu akan rela punya bayi dengan segala konsekuensinya? “yap!” jawabku ringan.  Di otak luguku, yang sudah prinsipil jangan ditawar lagi, apapun ke depannya Allah akan mengokohkanku juga.
“Well, Aini, aku tidak sabar melihatmu benar-benar menemukan pasangan jiwa dan kemudian menikah, kalian akan memiliki anak perempuan yang lucu. Beri dia nama Meilissa, okay?” saat itu aku tergelak. Kami tertawa berdua dan sepuluh hari menarik itu akan kami habiskan dengan bahasan yang ‘aneh’ untuk pertemuan yang singkat.

Meilissa melihat tukang bangunan merokok di sela-sela kerjanya membangun TK yang menjadi proyek kami saat itu, ia serta merta merasa berselera pada sigaret itu dan mencobanya nyaris satu batang.
“Di sini, seorang gadis merokok bukanlah tontonan yang wajar.” Kelitku.
“Baiklah, aku akan berhenti dan kau lihat sampahnya? Di sana membuang sampah sembarangan seperti itu bukanlah tindakan yang wajar.” Sengitnya pula padaku. Kami saling tersenyum. Ya. Harusnya kami juga seperti itu, gumamku.
Mereka juga membagiku beberapa potong sandwich dan snack rendah kalori. Aku dengan seksama memeriksa ingredients-nya. “Ayolah Aini, ini makanan halal karena teman muslimku juga memakan ini. Kami tahu mengenai itu.” Ups, baiklah. Mereka sudah tahu sebelum aku menanyakan “Is it halal?”
Jaman dimana gadget tidak sebernas ini, traveling keliling dunia bukan hal yang bisa dilakukan setiap orang, dimana aku begitu masih hijau dan terang. Aku merasa begitu kentara dan lempang.
“Aku tak akan punya anak.” Lanjut Mei setelah mengatakan ia tak akan menikah. Aku kira ia tidak normal karena barangkali tidak menyukai pria pun. Dia tertawa lepas. Tentu saja ia menyukai pria yang menarik hatinya tapi ia akan menjalani hidup tanpa ikatan yang menurutnya mengerikan. Semacam menikah dan kemudian bercerai, menorehkan trauma dan lain sebagainya. Ia tidak suka teriakan anak-anak, ia benci balon apalagi kalau balon itu tiba-tiba meletus dan membuncahi dadanya. Ia rasa ingin lepas jantung dan mati muda.

Kami saling tertawa lagi dan sedikitpun aku tak ingin menertawakannya yang mungkin akan melukai hatinya. Tapi aku turut prihatin dan sedih sekiranya ia memiliki luka batin yang dalam. Tentu ada musabab ia memiliki prinsip yang begitu bertolak belakang dengan milikku. Tapi sekiranya ia beroleh hidayah, tentu akan bisa mengobati segala luka dan traumanya.

Aku hanya mampu merapal doa dalam hati, akhirnya juga mengatakan maaf, belum tepat setahun perpisahanku dengan Mei, aku menemukan soulmate  dan menikah di usia 21 tahun. Setahun kemudian aku memiliki bayi lelaki dan lima tahun kemudian bayi perempuanku hadir ke dunia. Aku tidak menamakannya Meilissa Hee tapi Hukma Shabiyya. Aku berusaha menjaga fitrahnya, tekadku. Aku harus memberikan yang terbaik dan bukan torehan trauma seperti yang entah siapa berikan untuk Mei.

Mungkin sebuah janji itu tak bisa kupenuhi, Mei. Aku belum siap dengan penyematan nama itu yang akhirnya hingga kini aku masih tidak mencari keberadaanmu, dengan kemudahan teknologi hari ini. Aku belum siap menyapamu kembali dengan mengatakan “Maaf, aku batal memberikan nama itu untuk anak perempuanku.” Tapi aku tentu tetap merapal doa yang sama mengenai hidayah dan semoga kamu tetap beroleh bahagia.
E-mail terakhir kita, aku coba menelusurinya di inbox medicus_84@yahoo.com tapi tenggelam begitu jauh. Eh, kamu mengucapkan selamat atas pernikahanku dan mengingatkan tentang anak perempuan itu “jangan lupa beri dia nama Meilissa. Hahaha…”